Di Balik
Tangis
Mata
jeli Imah berkaca-kaca ketika ia membuka album foto pengukuhannya sebagai Guru
Besar Tamu di Hangkuk University kemarin. Ia terharu dan
sangat bersyukur atas skenario Allah untuk dirinya. Baru 4,5 tahun yang lalu ia
meraih gelar Sarjana Humaniora, baru dua tahun dua bulan yang lalu ia diwisuda
di program master dengan predikat cumlaude,
wisudawati terbaik di kampusnya, Universitas Indonesia, dan baru dua tahun yang
lalu ia menginjakkan kakinya di Negeri Ginseng ini. Kini di usianya ke-29
tahun, ia langsung diangkat sebagai Guru Besar Tamu di universitas kelas dunia,
universitas ternama di Korea. Maka nikmat
Tuhannu yang manakah yang kamu dustakan? Ia menangis mengingat firman Allah itu, firman yang 21 kali
diualang-Nya dalam Q.S. Ar-Rahman yang menyindir orang-orang yang kufur
terhadap segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan oleh Allah. Ya, ia kini
tengah menangis, Tangis bahagia, begitu orang-orang menyebutnya. seketika,
refleks ia ingat pada suatu masa, delapan tahun dua bulan nan silam….
***
Di
sebuah pondok kecil yang beratapkan rubia dan berdindingkan bambu, tergeletak
di antara pepohonan kelapa di Pesisir
Selatan. Negeri Sejuta Ombak, itulah sebutan akrab untuk negeri panjang di pinggir
pantai itu, negeri yang di siang harinya panas membakar kulit, namun di
sepertiga malamnya dingin menusuk tulang. Di sanalah ia
memulai ceritanya, cerita yang terlalu pahit untuk diingat dan terlalu manis
untuk dilupakan.Waktu itu, ia
merupakan siswi
kelas III SMA. Ia
tinggal bersama kedua orang tua dan tiga saudaranya, ia sangat menggemari
pelajaran Kimia dan sangat ingin menjadi seorang guru kimia yang profesional. Imah merupakan siswa yang
pintar, rajin, sholihah, sang
juara, dan acap kali mengikuti olimpide
sebagai utusan seokolahnya. Sebagai seorang siswa, nyaris tak ada kekurangan dalam dirinya, hanya saja ia berasal
dari keluarga yang kurang mampu.
***
Malam
itu cuaca sangat cerah, langit berbinar terang, bintang-gemintang menampakkan
kelelokannya pada dunia,
dan rembulan pun tersenyum indah dengan cahaya merekahnya. Sungguh sangat
memukau malam itu, seindah hati Imah yang tengah berbunga. Bagaimana
tidak? Kini ia sudah kelas tiga SMA, itu
artinya sebentar lagi ia akan meninggalkan putih abu-abu, sebentar lagi ia akan
menjadi seorang mahasiswa, sebentar
lagi ia akan
menjadi mahasiswa Kimia. Segera ia menghampiri ibunya
yang sedang duduk di serambi depan
menikmati indahnya malam itu.
“
Ibu, Imah sekarang sudah kelas III, Imah ingin kuliah... do’akan semoga
diberikan yang terbaik ya Bu...” Ujar Imah memecah keheningan malam itu.
“Apa
kau bilang?? Kuliah? Jangan mengada-ada Nak!
Bagaimana mungkin kamu bisa kuliah dengan kondisi keluarga kita seperti ini?
Untuk makan saja
susah. Imah, Imah... ada-ada
saja kau ini.” Jawab ibu Imah dengan nada datar.
“
Imah serius Bu, Imah ingin kuliah justru ingin mengubah keluarga kita.” jawab Imah membanta.
“Tidak Imah, kamu belum bisa kuliah tahun ini!
Jujur, kami tidak sanggup untuk itu, biaya kuliah tidak murah, kau tahu sendiri
kakakmu juga masih kuliah, adik-adikmu juga masih sekolah, ada baiknya kau
mengalah dulu”,
tambah sang ibu yang menyatakan ketidak sanggupannya.
“Ibu jangan khawatir,
Imah akan kuliah dengan beasiswa InsyaAllah.”
Jawab Imah menutup percakapan malam
dan segera kembali ke kamar.
***
Keesokan harinya di
sekolah. Ketika
jam istirahat tiba, Imah segera keluar. Ia lebih memilih menyendiri di bawah
pohon rindang di depan perpustakaan sekolahnya. Tidak ada seorang pun di sana, hanya diary bewarna pink itu yang selaulu
setia menemaninya. Kata-kata ibunya semalam, senantisa
terngiang di
telinaganya, hal itulah yang membuatnya muram tak seperti biasa.
“
Ya Ampun Imah, kok
sendirian di sini? Ngapain?.” celoteh Icha yang membuatnya
kaget. “Eh Icha...
bikin kaget tau,
datang-datang tanpa
permisi, baca salam dikit kenapa coba?” balas
Imah dengan nada sedikit agak kesal.
“Lagian kamu tuh, siapa suruh bersimedi di siang
bolong begini? Dari tadi dicari. O
ya, dah daftar belum, SNMPTN? Hari ini loh, pendaftaran terakhir.” jelas Icha,
sahabat karibnya sedari
kecil.
Mendengar
perkataan Icha, tubuh Imah gemetar ia kembali teringat kata-kata sang ibu, ia
lebih memilih diam seolah-olah tak mendengar apa yang diucapkan icha.
“Imah,
kamu kenapa sih? Ditanya diam,
muram, tak seperti biasanya...”, tanya Icha dan mulai
merangkul sohibnya itu.
“Iya Cha, aku
teringat sesuatu, ibuku tidak mengizinkan aku
kuliah... beliau menyatakan ketidaksanggupannya membiayai pendidikan kami”
jelas Imah to the point.
“Imah,
kita harus optimis! uang bukanlah segalanya,
jangan jadikan keterbatasan keluarga kita sebagai
pembatas tercpainya cita-cita kita. Kita
harus bisa kuliah, tidak ada kata untuk tidak kuliah! Cukup banyak
orang sukses yang berasal dari keluarga kurang mampu sebagai buktinya. Yuk, kita mempersiapkan
diri, di mana ada kemauan di situ ada jalan, InsyaAllah ada beasiswa sob... jadi
buruan tentukan pilihanmu biar bisa segera daftar”, dengan lantang Icha menasihatinya.
Kata-kata itu ternyata berhasil menggugah
jiwanya. Kini ia yakin dan optimis, ia tidak ingin mengecewakan orang-orang
yang disayanginya. Ia segera menuju TU sekolah dan melakukan pendaftaran secara
online. pilihan pertama dan keduanya jatuh pada Farmasi dan Sastra Indonesia Universitas Indonesia (UI) sedangkan pilihan ketiganya aialah
pendidikan kimia Universitas
Negeri Padang (UNP).
***
Siang itu mentari sangat terik dan
bersinar dengan semangat sehingga membuat siswa
kelas tiga SMAN 1 Sutera semakin semangat
menanti pengumuman hasil Ujian Nasional. tapi lain halnya dengan Imah, hatinya dag-dig-dug tak menentu, ia takut
bagaimana kalau ia tidak lulus UN?? Kalaupun lulus, bagaimana kelulusannya di
PTN?
Ah,
dengan segera perasaan was-was itu dibuangnya. Kini ia kembali optimis, pikirannya membubung tinggi ke
angkasa, sampai-sampai ia membayangkan telah menjadi mahasiswa farmasi UI dan akan pulang ke kampung halaman mengenakan almamater kuning.
Tapi mengapa ia membayangkan lulus
di Farmasi UI?
Bukankah ia ingin menjadi seorang guru kimia? Mengapa Farmasi yang jadi pilihan
utamanya? Mengapa tidak pendidikan kimia? Aneh memang, sulit untuk dimengerti,
begitu mudah ia mengubah keputusan yang telah lama dirancangnya, bahkan jauh
sebelum ia masuk SMA.
***
Hari demi hari telah berlalu, kini
jarum jam nan setia berdetak mengiringi detak jantungnya itu telah menunjukkan
pukul 19.00 Wib. Tibalah saatnya hasil kelulusan SNMPTN diumumkan, akan tetapi
pengumuman ini
hanya bisa dilihat
di internet, sehingga Imah tidak bisa melihatnya secara langsung karena di kampungnya, tidak lazim jika anak perempuan keluar
rmalam, ditambah lagi ia tidak punya transportasi
untuk menempuh jalan sepanjang 4 km. Satu-satunya
acara ia harus meminta
kakaknya untuk melihat pengumuman tersebut.
Ia segera mengambil hp-nya dan
mengetik pesan:
Aslmkm… Uni,
gmna kbarny skrg?
O y un, bsa
tolg lihatkn pngumuman SNMPTN??
Untk password-nya yg dkrm kmren, trims sblmny Un.
Tak sabar rasanya menanti asa menjadi nyata. tapi
apa hendak di kata, Allah menegur tingkahnya, sikapnya yang dulu optimis, kini
berbalik arah jadi pesimis.
Wlkmusslam… Alhmdllh Uni sht.
Smga Ibu, Ayah, Imah,
dn adk2 jga.
U hsil SNMPTN, mgkin
Imah blm diiznkn u lu2s.
Ttap smngt mudah2n ad cra
lain.
Balasan SMS
dari sang kakak begitu menusuk hatinya,
rasa kecewa, sedih,
dan penyesalan telah berbaur menyesaki dada. Kristal-kristal bening yang bersemayam di pelupuk
matanya itu mulai menetes membanjiri pipi mungilnya. Hilang sudah harapannya
untuk kuliah, kini ia benar-benar telah putus asa, kata K-U-L-I-A-H yang dulu
terpatri dalam dada, kini lenyap entah ke mana. Ingin ia akhiri saja hidup ini, “untuk apa gunanya hidup jika tidak bisa
membahagiakan orang tua dengan kuliah?? Alangkah bodohnya diri ini”, ucap Imah
lirih. Tapi nuraninya menolak “Ah ini sangat konyol… Bagaimana mungkin hanya
gara-gara ini hidupku harus berakhir?”
***
Satu minggu setelah itu, ketika Imah hendak
silaturrahim ke sekolah, di jalan ia berjumpa dengan Icha.
“Imah… kenapa masih di kampung?” Tegur Icha heran.
“Iya, memangnya kenapa Cha? Toh aku tidak ada rencana hendak merantau” jawab Imah
tak mengerti.
“Imah, jadi kamu belum tahu, kalau kamu Lulus Sastra
Indonesia UI dengan beasiswa Bidik Misi?” Lanjut Icha.
“Belum Cha, kata kakak ku aku tidak lulus”
jawab Imah polos.
“Aku tak
mungkin salah lihat Mah, aku lihat sendiri informasi kelulusan itu di surat kabar
dan besok adalah hari pendaftaran ulang terakhir, sekarang buruan pulang,
beres-beres, dan berangkat ke Jakarta hari ini
juga!” Jelas Icha, ia khawatir kalau temannya itu terlambat melakukan
pendaftaran ulang.
“Terimakasih Cha, atas kesetiaanmu selama
ini.” Jawab Imah sambil memeluk erat sahabat sejatinya itu
dan kemudian langsung pulang.
Setiba
di rumah, ia segera menemui kakaknya yang kebetulan sedang berada di rumah.
“Uni,
mengapa Uni mengatakan kalau Imah
tidak lulus SNMPTN? Dan Uni tahukan
kalau besok adalah hari pendaftaran ulang terakhir? Mengapa Uni setega itu kepada adikmu
sendiri?” Tanya Imah kepada kakaknya.
“Imah, dengar dulu penjelasan Uni.” jelas sang kakak, tapi belum selesai bicara, Imah telah
memotong pembicaraannya.
“Semua sudah jelas, tidak ada lagi yang harus
dijelaskan. Uni tak ingin kan kalau
aku juga bisa merasakan pendidikan sebagai mana yang tengah Uni rasakan? Uni tak ingin kan kalau aku juga kuliah??”
“Tapi bukan karena itu Mah, Uni tidak mengabarimu karena Uni
tahu kamu penggila kimia, jadi tidak akan betah kamu kuliah di jurusan
Sastra Indonesia. Dan Uni juga tidak
mengizinkan kamu kuliah di jurusan itu. Jurusan
penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia ini, jurusan yang dengan
filsafat dan pemikiran modernnya akan mengubah pikiranmu seketika, apalagi di
Kota Jakarta. Kota metropolitan yang mudah mengubah gaya hidupmu! Uni tidak ingin itu terjadi padamu…”,
jelas sang kakak yang di panggilnya Uni itu.
“Kalau itu
alasanmu, aku sudah cukup besar untuk memilah dan memilih mana yang baik, dan
bukankah dulu Uni pernah mengatakan
kalau kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita cintai, maka di saat itulah
kita harus mencintai apa yang kita dapatkan? Bukankah kita lulus bukan karena
kebetulan? Bukankah Allah tidak memberikan
apa yang kita inginkan tapi memberikan
apa yang kita butuhkan?? Sudalah Un,
aku sudah capek dengan perdebatan
ini. Aku akan buktikan kalau Sastra Indonesia tidak seperti apa yang Uni bayangkan, aku akan buktikan bahwa
Sastra Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata”, kata-kata itu mengalir
deras dari mulutnya, sederas air matanya menetes membasahi pipi, walaupun
sebenarnya bathinnya masih belum bisa
menerima kelulusannya di Sastra Indonesia, tapi setidaknya kata-kata itu
merupakan sebuah janji kepada dirinya sendiri untuk bisa melakukan dan
memberikan yang terbaik di mana pun ia berada.
Ia tak tahu pasti entah kenapa sastra Indonesia
dinilai begitu rendah oleh masyarakat umum dan kakaknya sendiri sebagai orang
intelektual. Entah karena kakaknya merupakan seorang mahasiswa Kedokteran,
sehingga jurusan yang lain seolah-olah tiada arti di matanya, ataukah karena
sekolah tinggi yang berbau kesehatan tengah popular dalam masyarakat. Tapi
apapun alasannya, Imah tetap tidak setuju.
Ia meninggalkan
kakaknya dan segera menyiapkan pakaian, ijazah, berkas-berkas yang akan diperlukan, dan tidak lupa ia membongkar
celengannya. Dengan tertatih kakinya melangkah, memohon izin, do’a, dan restu
pada kedua orang tuanya. Dengan berurai air mata, mereka melepaskan kepergian
Imah dan dengan berurai air mata pula, ia meninggalkan Negeri Sejuta Ombak
untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sesungguhnya di
Minangkabau, dana awal bukanlah penghalang dalam situasi seperti ini.
***
Suara
azan berkumandang di seluruh penjuru bertanda waktu Isya telah tiba, muadzin menyeru hamba untuk segera
menghadap Rabb-nya. sontak Imah
tersadar dari lamunannya, matanya sembab dan isak tangisnya pecah mengenag
semua itu. Dalam hatinya ia berkata, “Uni,
terimakasih atas semuanya, kata-katamu itu menjadi motivasi terbesarku untuk
bisa mencintai apa yang telah kudapatkan, Sastra Indonesia. Kata-katamu itu
yang menjadi cambuk pemicu semangatku untuk selalu berusaha keras dan berdo’a
maksimal untuk mewujudkan semua ini, sehingga aku bisa membuktikan bahwa Sastra Indonesia bukan penyumbang pengangguran
terbesar di Indonesia, sastra Indonesia tak seperti yang kebanyakan orang
pandang, dan tak bisa dilihat dengan sebelah mata….
***
Bersambung……
Luar Biasa!!!!
BalasHapusmkasih kkak, itu tulisan kkak ku tersayang,, :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus