cahaya yang padam



“CAHAYA YANG PADAM”
          Malam itu cuaca cukup dingin, angin darat mulai berhembus membelai kulit, dan perlahan masuk melalui pori-pori menusuk tulang. Similar angin itu memang berhasil membuat tirai jendela menari dalam malam. Namun, tak mampu menciutkan semangat Dita untuk terus belajar. Sepertinya paham benar Dita akan makna pribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” barangkali karena ia sangat ingin meraih cita dan mengubah asa menjadi nyata.
Assalamu’alaikum... ya akhi ya ukhti,
Assalamu’alaikum... ya akhi ya ukhti..
Alunan nasheed yang dibawakan oleh Opick itu menyadarkan Dita akan dinginnya malam. Seketika fokusnya beralih , segera ia ambil hp yang tergeletak di antara tumpukan buku di atas meja belajarnya, sebuah panggilan masuk dengan nama kontak my mom.
“Assalamu’alaikum Bu...”
“Wa’alaikummsalam, Dita, gimana kabarmu Nak?”
“Alhamdulillah baik Bu. Ibu, ayah, dan adik-adik  juga sehatkan?”
“Alhamdulillah juga. Dita, jaga diri baik-baik ya Nak, rajin belajar,” nasihat ibu dengan suara sarat-sarat basah.
“Ya, Insya Allah Bu. Ibu kenapa menangis?”  tanya Dita yang merasakan perbedaan suara sang Ibu.
“Dita, jaga hatimu, jangan sampai seperti abangmu Dit..! Ibu sedih karena tingkahnya sekarang. Belum wisuda saja, ia sudah minta menikah padahal, dialah cahaya pertama yang akan menerangi keluarga kita dari kegelapan... Ibu dan ayah sudah semakin tua, dialah yang ibu harapkan untuk meneruskan kuliahmu dan sekolah Cindy nantinya” sejenak ibunya terdiam.
“ Dita, sekarang beban ini tertuju untukmu, abangmu itu tidak bisa lagi diharapkan. pegang kata-kata ibu ini Dit, ibu berharap kamu tidak mengecewakan ibu dan ayah,” tambah sang ibu.
“Ya Bu. Dita janji akan menjaga amanah ini dengan baik.”  Tak mampu lagi Dita mebendung air matanya, butir-butir bening itu kini telah mulai menetes membasahi pipinya.
“Ya sudah, assalamu’alaikum,” ucap ibu menutup percakapan malam itu.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Dita pelan.
“Masalah ini harus segera diselesaikan, hal ini tak sekedar masalah dengan keluarga, tapi juga masalah dengan Sang Khalik,” ucap Dita dalam kesendiriannya. Pikirannya telah melayang, ia tak lagi bisa menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. seketika ia berwudhu’ dan segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang dari tadi menggodanya untuk beristirahat. Ya, kini ia hendak tidur dan menghilangkan segenap pikiran dan kelelahannya. Akan tetapi, Sudah 30 menit ia berbaring, tak sedikit pun matanya mau terpejam, ia selalu teringat kabar dari sang ibu yang sebenarnya sudah lama ia ketahui. Ia selalu teringat kakak semata wayang yang menjadi cahaya harapan keluarganya, akankah cahaya itu padam sedini ini?
                                                ***
 “Bang, apa-apan ini??” tanya Dita kepada abangnya sambil menyodorkan foto sang abang bersama seorang perempuan.
Sedangkan Ihsan, abang yang ditanya hanya diam seribu bahasa.
“Kenapa Abang diam saja? Mengapa hal ini bisa terjadi Bang? Jujur, Dita sangat kecewa. Abang adalah orang yang paham dengan agama dan tentunya sangat paham juga akan hal ini. Bukankah tidak ada istilah pacaran dalam agama kita??  Bukankah Allah dan Rasul-Nya melarang keras perbuatan ini? Tidakkah Abang malu pada  adik-adik binaanmu yang dulu pernah Abang berikan materi tentang VMJ??? Tidakkah... belum selesai Dita melontarkan pertanyaan yang menjanggal pikiriannya, pembicraannya sudah dipotong oleh Ihsan.
“Cukup Dita…. Cukup…! Saya lebih tahu darimu…”
“Justru karena Abang lebih tahu, Dita menyakannya. Apakah Abang khilaf kalau ini adalah  tindakan terlarang?”
“Ya, karena kamu belum merasakan bagaimana menjadi mahasiswa tahun akhir…”
“Ooo…, jadi karena itu aqidahmu berubah Bang? Bukankah ada Allah tempat kita mengadu, berbagi, dan meminta? Bukankah banyak teman-temanmu nan setia menemani dan menajadi teman sajatimu? Kenapa harus seorang pacar??” Dita diam beberapa jenak.
“ Banyak mahasiswa tahun akhir yang tetap istiqomah, tetapi mengapa Abang memilih mundur dari jalan kebenaran ini? Kenapa Abang semakin menjauh? Kenapa Abang tidak berusaha untuk menjaga hati?” lanjut Dita melampiaskan emosinya, kini pipinya telah kuyup oleh air mata.
“Dita, tidak bisa kita bicarakan hal ini baik-baik? Tenangkankan pikiranmu…”
“Tenang…?? Apa dengan tenang masalah ini akan selesai? Karena Dita sudah cukup lama berusaha untuk tenang, selama ini Dita tenang dan diam saja, berharap Abang segera sadar dari kekhilafan ini. Akan tapi setelah lama diperhatikan, Abang semakin menjadi-jadi. Dita tidak tahan lagi Bang! Baiklah, jika memang maumu kita bicarak hal ini baik-baik,”  ucap Dita lirih.
“Dit, jika kamu tidak ingin Abang pacaran, tolong yakinkan ibu dan ayah agar beliau merestui Abang menikah sekarang,” ujar Ihsan dengan nada setengah memohon.
“Bang, apakah permintaanmu ini telah menggunakan akal sehat?? Memang dalam agama tidak ada larangan untukmu menikah saat ini, tapi apakah Abang telah memikirkan ayah dan ibu? Apakah Abang telah memikirkan kami, adik-adikmu?” Sejenak, Dita terhenti dan mengusap air matanya yang tiada reda.
“Bang, ayah dan ibu sudah semakin tua, siapa yang akan membiayai pendidikan kami nantinya kalau bukan Abang? Ingat bahwa Abang  adalah anak sulung, cahaya pertama harapan keluarga kita, cahaya yang yang akan mengeluarkan kita dari kegelapan. Kalau Abang menikah sekarang, mampukah cahaya itu tetap bersinar dan harapan itu terwujud?”
“Dit, Abang berjanji jika Abang menikah, cahaya itu takkan pernah redup apalagi padam, Abang akan tetap membiayai pendidikan kalian jika berpenghasilan kelak” jelas Ihsan tenang.
 “Bang, sudah berapa orang yang engkau bohongi dengan mulut manismu itu?? Mulut manismu yang dulu juga berjanji akan menyekolahkan adik-adikmu sebelum menikah, mulut manismu yang dulu berkata akan menjadikan Cindy, adik kita sebagai dokter. Dan kini, Abang akan memberikan harapan palsu lagi? Asal Abang tahu, betapa ayah dan ibu kecewa dengan ulahmu ini, betapa pusingnya ayah dan ibu memikirkan biaya wisudamu yang kini ditambah dengan biaya nikahmu. Dan asal Abang tahu, Cindy yang dulu tak lepas dari buku-buku pelajarannya, kini sekedar mengulang pelajaran saja ia tak mau karena ia terlanjur kecewa kepada abangnya yang akan membiayainya menjadi dokter. Ia takut kalau nanti hal itu tak akan terwujud....”
“Sudah puas kamu dengan apa yang kamu katakan Dit? Tidakkah seorang mahasiswa bahasa diajarkan bagaimana berbahasa dengan baik?” Ihsan tak kuasa meredam emosi.
 “Bang, Dita memang bukan mahasiswa eksakta seprtimu. Dita hanya seorang mahasiswa sosial, mahasiswa bahasa dan sastra tepatnya, tapi Dita masih menggunakan logika untuk berpkir dan berpikir sebelum bertindak. Dita mohon, agar Abang mengubah tingkah konyol ini, setidaknya menjaga perasaan ayah dan ibu,” pinta Dita dengan nada mengiba kemudian berlalu meninggalkan Ihsan.
Perdebatan seperti itu memang sering terjadi antara Ihsan dan Dita. Kendati wajah keduanya mempunyai kemiripan, tapi perbedaan karakter dan perbedaan pendapat mereka sulit untuk disatukan bak minyak dalam air. Dita dengan sikap Kolerisnya ingin segala sesuatu terselesaikan dengan baik dan secepatnya, sedangkan Ihsan dengan sikap plagmatisnya terlalu menganggap santai segala sesuatu. Perdebatan seperti itulah yang menghiasi hari-hari mereka ketika bersama.
Tapi, pedebatan saat ini menyangkut maslah yang sangat serius. Betapa hancurnya perasaan Dita, sebagaimana luluh lantaknya Nanggro Aceh Darussalam dihantam Tsunami 26 Desember 2006 dan sehancur Padang Kota tercinta diterpa gempa 30 September 2009 lalu. Bagaimana tidak?? Dari Ihsanlah ia menengenal jilbab, dari Ihsanlah ia mengenal agama ini lebih dalam, Ihsanlah yang menjerumuskannya ke jalan yang benar, dan sekaligus menjadi  tokoh panutannya. Tapi sayang, kini tokoh panutan itu telah berbalik arah seratusr delapan puluh derajat.
                                      ***
Sejak perdebtan itu, Dita lebih banyak berdiam diri dan sering membasahi sajadah di kala salatnya. Ia tidak tahu harus menceritakan masalah besar ini kepada siapa karena ia takut, perbuatan abangnya ini pasti mengecewakan banyak orang. Ihsan merupakan salah satu mahasiswa terbaik di kampus kuning ini, baik dari segi akademis maupun dari segi kreatifitas. Jadi, sangat jarang mahasiswa lain yang tidak mengenalnya.
Kini, ingin rasanya Dita pulang ke kampung halamannya. “Negeri Sejuta Ombak,” itulah julukan yang diberikannya kepada negeri panjang di sepanjang pantai itu. kini Ia ingin pulang, ingin berbagi cerita pada deburan ombak, ingin belajar ketegaran pada karang, ingin belajar ketabahan pada hamparan pantai, dan ingin  belajar kegigihan pada umang-umang nan gigih berlari menghindari kejaran ombak.
          Kini ia ingin pulang, ingin menepis gundah dengan menikmati keindahan alam di
“Negeri Sejuta Ombak”, menikmati panorama Pantai Carocok, dan Bukit Langkisau yang berhasil mungundang ribuan bahkan jutaan wisatawan setiap tahunnya, baik domestik maupun mancanegara.
                                                ***
Dari semalam bumi pesisir diguyur hujan, sepertinya cuaca pun kurang bersahabat dengan Ihsan yang akan melangsungkan pernikahannya pagi ini, dan sepertinya ia malah berpihak pada Dita di tanah seberang. Ia turut merasakan kepedihan Dita. Kepedihan?? Ya, kepedihan karena Dita masih belum bisa menerima realita pernikahan itu, ia masih belum siap menerima padamnya cahaya harapan. Seperti yang telah ditekadkan oleh Dita dalam hatinya, ia tidak akan menyaksikan pernikahan yang diawali dengan hubungan terlarang yang disebut pacaran itu.
          Seperti biasa, setelah sarapan Dita segera berangkat kerja karena hari ini  adalah hari Minggu, jadi tidak ada agenda ke kampus. Dita mengisi jadwal kosongnya dengan bekerja sebagi karyawan di salah satu toko pakaian dekat kampusnya. ia memang suka berwirausaha, sejak SMA ia telah terbiasa job part time untuk menambah  uang sakunya yang kerap kali ia belikan pada buku pelajaran..
Gontai kakinya melangkah, menapaki jalan panjang nan sepi. Masih terlalu sepi. Toko-toko di sepanjang jalan masih tertutup rapi. Angkutan kota dan kendraan bermotor lainnya pun masih enggan menjelma. Padahal, jarum jam yang melinkar indah di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul 08.45 wib, barangkali karena di hari libur. Sangat bertolak belakang dengan hari senin hingga jum’at. Pukul 06.45 saja, jalanan telah hiruk-pikuk menampakkan kehidupan, mahasiswa dengan pakaian serba rapi telah bergegas menuju kampus, dan angkutan kota telah berpacu adu kecepatan.
Assalamu’alaikum... ya akhi ya ukhti,
Assalamu’alaikum... ya akhi ya ukhti..
Refleks Dita menerima telfon itu, dari nomor yang tak asing lagi baginya, nomor yang telah hafal dalam kepalanya. Ya, panggilan masuk itu dari adik semata wayangnya, Cindy.
“Assalamu’laikum Cin..”
“Wa’laikumussalam, kak Dita kenapa tidak pulang? Kak, Cindy takut karena kini cahaya itu telah padam. Bang Ihsan telah melangsungkan pernikahannya, siapa yang akan membiayai sekolah Cindy nantinya?” Cindy mengadukan kekecewannya pada Dita.
“Cindy kenapa menangis? Seharusnya kan Cindy juga bahagia karena sekarang adalah hari bahagianya Bang Ihsan. Cindy jangan takut, karena ada kak Dita yang akan menyekolahkan Cindy nantinya,” jelas Dita menghibur Cindy, walau sebenarnya ia juga mempunyai perasaan yang sama dengan adiknya itu.
“Tapi kak Dita baru semester satu. Masih lama tamatnya.”
“Ya, tapi kan kakak bisa kerja sambil kuliah? Cindy jangan nangis lagi. Jangan jadi anak yang cengeng karena kita lahir dan dibesarkan di “Negeri Sejuta Ombak,” sudah semestinya ketegaran karang itu dapat kita miliki!” nasihat Dita yang sebenarnya juga untuk dirinya sendiri.
           Braaaaaaaaak.....
Tiba-tiba sebuah angkot yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi menerobos jalanan sepi itu hilang kendali. Dita menjadi sasaranya, ia tertabrak dari belakang. Dita terjatuh, kepelanya terbentur keras ke aspal, Hp-nya yang tadinya sedang ia gunakan, kini terlepas entah ke mana. Seketika suasana gaduh. Masyrakat yang entah dari mana datangnya, berbondong-bondong ke tempat kecelakaan. Segera Dita dibawa ke Rumah Sakit terdekat, sama sekali ia tak sadarkan diri.
“Kak Dita.... Kak Dita...” teriak Cindy yang sempat mendengar suara gaduh tabrakan sebelum telfonnya terputus, tangisnya semakin menjadi, ia tak tahu apa yang menimpa kakaknya di negeri seberang. Lengkap sudah kepedihan gadis kecil itu, dua cahaya harapannya padam di hari yang sama.
                                                ***

Bersambung….. …...

Komentar

Postingan Populer